Sejarah Desa

16 Februari 2023
Administrator
Dibaca 614 Kali

Sejarah Desa Lebih.

            Sebagaimana dimaklumi adanya suatu nama desa dapat diyakini mempunyai suatu latar belakang atau sejarah terhadap berdirinya suatu desa, sehingga nama tersebut dipakai. Namun untuk mengungkap sejarah Desa Lebih. secara pasti belum bisa dipastikan, karena belum adanya lontar yang bisa menjadikan patokan dalam menyusun sejarah Desa Lebih.

            Tetapi berdasarkan ceritera yang diproses di masyarakat yang disampaikan oleh para tokoh secara pertemuan dan dapat dipercaya sebagai sejarah desa kelahiran Desa Lebih dapat diuraikan sebagai berikut;

 

Asal Usul Nama Desa Lebih

Pada abad ke-13 Kerajaan Bedahulu diserang oleh pasukan Majapahit, dibawah pimpinan Patih Gajah Mada. Serangan dilakukan dari 2 arah yaitu dari arah Selatan yang dipimpin oleh Patih Gajah Mada dan dari arah Utara dipimpin oleh Arya Damar. Dalam serangan ini Patih Pasung Grigis dapat dikalahkan oleh Arya Damar. Sedangkan Patih Kebo Iwa dikalahkan oleh Patih Gajah Mada dengan tipu muslihatnya. Maka dengan kalahnya Bedahulu secara resmi Bali dibawah kekuasaan Majapahit (Tahun 1343 M).

Pada Waktu Patih Gajah Mada bersama dengan pasukannya dating ke Bedahulu menaiki sebuah rangkung (perahu), konon perahu tersebut berlabuh di suatu pantai di dekat Blahbatuh, begitu seringnya beliau dating bersama anak buahnya, selalu menaiki rangkung, dan berlabuh ditempat yang sama. Maka lama-kelamaan konon tempat itu disebut Rangkung (dalam babad tidak ada ini, hanya cerita dari mulut ke mulut). Setelah Bedahulu/Bali resmi menjadi jajahan Majapahit kurang lebih selama 7 tahun. Bali belum juga diperintah oleh raja dari Majapahit, namun pemerintahan diserahkan kepada Ki Agung Gelgel.

Dikisahkan setelah 7 tahun berlalu pada tahun 1350 M, Patih Gajah Mada mengirimkan seorang Adipati ke Bali yaitu putra dari Brahmana Kepakisan yang paling kecil (bungsu) diangkat sebagai Adipati di Bali bergelar Sri Maharaja Kepakisan, yang berkedudukan di Samprangan, dikenal dengan nama Dalem Ketut Ngelesir (tahun 1350). Setelah beberapa tahun memerintah, ternyata di Bali, terutama Bali Asli (Bali Aga), tidak puas terhadap raja yang mengakibatkan timbulnya sedikit huru-hara, sebagai tanda ketidakpuasan dari orang-orang Bali Asli. Karena kedudukan raja goyah, maka pemuka-pemuka di Bali menghadap ke Majapahit untuk menyampaikan bahwa raja Sri Kresna Kepakisan akan kembali ke Majapahit.

Utusan ke Majapahit ini, dipimpin oleh Ki Patih Ulun Kepasekan, Pemacekan Padang Subadra. Diceritakan utusan ini sesampainya di majapahit, menceritakan segala masalah yang terjadi di Bali dan keinginan raja untuk kembali ke Majapahit.

Namun Patih Gajah Mada menolak kepulangan Adipati bali (Sri Kresna Kepakisan), dengan alas an bahwa Bali adalah tetap menjadi kekuasaan Majapahit dan Patih gajah Mada memberikan sebilah keris dan seperangkat pakaian beliau sebagai tanda bahwa Patih Gajah Mada adalah yang memerintah di Bali. Keris tersebut bernama Durga Dungkul.

Dalam perjalanan pulang dari Majapahit, rombonganmenaiki perahu/rangkung dari Bubat melewati Jembrana, Puruncak, Sawah-sawah Bongkak, Tuban, Kekalahan, Kedonganan, Intaran (Sanur) dan terus menuju pesisir Rangkung/Lebih dan dengan berjalan kaki menuju ke Timur Laut yaitu Samprangan (terdapat dalam Babad Bali).

Disini kita menarik kesimpulah, perahu/rangkung yang dibawa oleh pasukan Patih Gajah Mada boleh diartikan rangkung menjadi langkung/lebih.

Sejarah Desa Lebih dihubungkan dengan keberadaan tempat-tempat suci/pura-pura di wilayah Desa Lebih diceritakan sebagai berikut :

Pada waktu pemerintahan berkedudukan di Samprangan raja-raja yang memerintah berturut-turut, yaitu : Sri Maharaja Kepakisan, diganti oleh Ida I Dewa Tarukan, dikenal dengan sebutan Dalem Tarukan.

Dalem Tarukan turun tahta diganti oleh adiknya Dalem Ketut Ngelesir dan pusat pemerintahan Samprangan, dipindahkan ke Gelgel atas prakarsa arya Kebon Tubuh. Dalem Ketut Ngelesir diganti oleh Dalem Waturenggong tahun 1460-1550 M. Pada waktu pemerintahan Dalem Waturenggong, datanglah Ida Pedanda Sakti wawu Rawuh yang dikenal dengan sebutan Danghyang Nirata, pada Tahun 1489 M. Dalam perjalanan beliau untuk menyelamatkan Bali, beliau mengelilingi Bali, diantaranya Rambut Siwi, Tanah Lot, Uluwatu, Masceti (waktu itu belum bernama masceti) dan akhirnya beliau tiba di rangkung. Beliau beristirahat di suatu tempat yang tinggi (sekarang Pura Candi Agung, pada waktu itu hanya berupa dataran tinggi), beliau melanjutkan perjalanan ke Timur Laut dan tiba di Pura Sibi Agung (Dusun Kesian).

Dalem Waturenggong diganti oleh putranya Dalem Anom Pemahayun (Tahun 1550-1580 M) yang kemudian diganti oleh adiknya Dalem Segening (Tahun 1580-1621 M), dimana putranya yang ke 15 Ida I Dewa Manggis Kuning merupakan cikal bakal raja Gianyar. Putra Dalem Segening, yaitu Dalem Dimade (Tahun 1621-1651 M) menggantikan kedudukan ayahabda di Gelgel. Pada waktu beliau memerintah terjadi pemberontakan oleh Ki Aji Dauh, tetapi dapat digagalkan. Kemudian terjadi lagi pemberontakan oleh I Gusti Agung Maruti dan berhasil mengalahkan Dalem Dimade, yang menyebabkan Dalem Dimade menyingkir ke Guliang. I Gusti Agung Maruti memerintah Gelgel (Tahun 1651-1677 M). Setelah I Gusti Agung Maruti memerintah selama 6 tahun, lalu dikalahkan oleh putra dalem Dimade yaitu I Dewa agung Jambe, maka I Gusti Agung Maruti menyingkir ke Jimbaran. Dari Jimbaran ke Kapal, lalu pindah lagi dan menetap di Alas Rangkan. Pada saat beliau merambas hutan Rangkan, beliau melihat cahaya kuning di Tenggara yang sangat berkilauan, lalu beliau mencari sumber cahaya tersebut, ternyata di tempat sinar itu ada perhyangan dan disebut Masceti (Ceti = cahaya, Mas = kuning,). Keturunan I Gusti Agung Maruti tinggal dengan tentram di Desa Rangkan (Keramas sekarang) dan semakin lama kedudukannya makin kuat.

Selanjutnya diceritakan Raja Gianyar, I Dewa Manggis II mempunyai putra I Dewa Manggis III dan I Dewa Kepandean yang ditempatkan di Sura Angga (Serongga sekarang), yang mempunyai wilayah sampai disebelah Selatan Cekug (Medahan). Untuk memperkuat kedudukan Beng, maka I Dewa Manggis III menugaskan saudaranya I Dewa Kepandean untuk membendung kemungkinan adanya serangan dari Keramas. Disamping itu dikirim pasukan ke Rangkung/Lebih, sehingga Rangkung merupakan suatu benteng bagi Beng. Pasukan ini dipimpin oleh keturunan Ki Gede Meranggi Dana. Lama kelamaan Lebih semakin kuat dan berkembang meliputi 7 Dusun/Banjar, yaitu Dusun Lebih Beten Kelod, Dusun Lebih Duur Kaja, Dusun Kesian, Dusun Serongga Kelod, Dusun Serongga Tengah, Dusun Serongga Kaja, dan Cebaang.

Kemudian mengingat luasnya wilayah dan besarnya jumlah penduduk maka pada tanggal 16 Nopember 1991, Desa Lebih dimekarkan menjadi 2 (dua) Desa yaitu Desa Lebih dan Desa Serongga. Desa Lebih terdiri dari 3 Dusun, yaitu : Dusun Lebih Beten Kelod, Dusun Lebih Duur Kaja dan Dusun Kesian, sedangkan Desa Serongga terdiri dari 4 Dusun, yaitu Dusun Serongga Kelod, Dusun Serongga Tengah, Dusun Serongga Kaja, dan Dusun Cebaang (Berdasarkan SK Gubernur Kepala Daerah TK I Bali Tanggal 16 Nopember 1991, Nomer : 661 tahun 1991).

Demikian diperkirakan timbulnya Desa Lebih, berdasarkan Profil Desa Lebih.

 

Sejarah Berdirinya Masing-masing Dusun

 

Dusun Lebih Beten Kelod

Nama Dusun/Br. Lebih Beten Kelod itu sendiri diambil dari letak geografisnya yang berada/terletak di bagian paling Selatan dan paling rendah atau bawah, yang mana kata beten mempunyai arti bawah dan kelod berarti selatan.

 

Dusun Lebih Duur Kaja

Dinamakan Dusun/Br. Lebih Duur Kaja karena secara geografis letak wilayah Lebih Duur Kaja lebih tinggi dari Dusun Lebih Beten Kelod dan terlatak di sebalah Utara dari Dusun Lebih Beten Kelod, yang mana kata duur mempunyai arti atas dan kaja berarti utara.

Dusun Kesian

Dusun/Br. Kesian, awalnya berasal dari kata “Kesehan” artinya “Diganti” atau diperbaiki. Sebelumnya, Dusun ini disebut Dusun Batan Tingkih. Oleh karena sesuatu hal letak/lokasi Dusun ini dipindahkan ke arah Timur Laut (lokasi sekarang dan diberi nama Dusun/Banjar kesehan kemudian lama-kelamaan menjadi Kesian) hingga sampai sekarang.